Dibalik Euphoria – Cerita Pendek

Matahari begitu terik pada saat itu. Suara ayam berkokok, terdengar di telinga ku. Terasa spesial, karena ini adalah hari Sabtu, malam Minggu, yang nanti akan diadakan pangggung pentas di lapangan sebaguna di komplek ku, guna memperingati perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia. Aku bersemangat untuk hari ini, karena aku sudah mempersiapkan untuk hari ini dengan sangat matang, aku sudah berlatih dengan sangat keras, agar nanti pentas ku berjalan lancar.

 

Setelah bangun, dan shalat subuh, aku segera mandi. Betapa bahagia nya aku, terpancar dari raut wajahku yang siapa saja yang melihat, pasti akan berkata

“seneng amat mukanya, mau ngapain sih?”

Ini adalah pentas pertamaku, setelah aku selalu menolak untuk tampil di depan umum karena malu, dan tidak percaya diri. Pasti seru, pikirku. Karena selain ini pentas pertamaku, aku tidak sendirian, ada banyak teman yang akan tampil bersamaku, untuk memainkan sebuah drama yang sudah kita buat selama beberapa bulan.

Aku sudah membayangkan, nanti semua orang akan menyukai pentasku, karena aku dan teman-teman sudah berlatih sangat keras untuk menampilkan ini nanti malam.

Siang, sore, kulalui dengan riang gembira. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00, pentas akan dimuali pada pukul 19.00, yang artinya dua jam lagi, aku akan naik panggung. Wah pasti seru. Kesenangan itu, tidak lupa aku akan bagikan kepada orang tuaku,

“Bapak, Ibu, Kakak, nonton ya! Jangan sampe gak!”

Ya, aku bangga sekali aku akan menampilkan karyaku.

Masih dengan raut wajahku yang tersirat di mukaku, aku mempersiapkan yang harus dipersiapkan. Karena, habis maghrib aku harus ke rumah temanku, untuk di dandani, diberikan kostum untuk nanti.

Setelah shalat maghrib, kami semua bergegas untuk dandan. Temanku, sibuk memakai kostum putri, dia kelihatan anggun dan cantik, dengan riasan nya.

“Putri, putri, nih kostum kamu. Kamu didandanin terakhir aja ya, kamu kan gampang”

Ah iya, kostum dan riasanku ini adalah riasan yang paling gampang. Tidak membutuhkan banyak treatment seperti yang lain.

“Iya, tante, gak masalah” Jawabku.

Setelah teman-temanku telah memakai kostum lengkap dengan riasannya, giliran aku yang didandani.

Jam telah menunjukkan pukul 19.00, yang artinya waktunya acara dimulai. Sebagai penanda dimulainya acara, ada sambutan dari ketua RW, Ketua RT, dan sesepuh setempat guna menyemangati para pemuda. Ah, aku tidak sabar.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.00, sudah satu jam aku menunggu, dan baru dikabari ternyata, aku dan teman-temanku akan mulai pentas setelah acara pentas tari anak-anak selesai. “Wah, apakah nanti ada yang nonton ya?” pikirku. Aku cemas, tapi aku tetap percaya diri.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.30, dan kelihatannya, pentas anak-anak akan selesai. Gembira sekali hatiku. Kulihat ibuku sudah ada di sekitar panggung, untuk melihatku tampil sepertinya. Aku lihat juga panggung masih ramai, dikelilingi oleh para penonton, “wah masih penasaran nih kayanya sama drama anak-anak remaja. hihi”. gumamku dalam hati.

“Ya, kali ini kita akan mementaskan drama yang akan dimainkan oleh remaja-remaja RT 09, Kampung Nanas” begitu kata MC, yang membuatku deg-degan.

Aku masih harus menunggu sampai bagianku nanti, adanya di tengah-tengah drama. Dan waktu itu tiba.

“Ijaaaaaah…. Ijaaaaaaaaah”

Aku naik ke atas panggung, dengan memakai pakaian lusuh, dan muka lusuh.

Ya, aku berperan sebagai ijah dalam drama ini. Drama ini bercerita tentang suatu kerajaan yang mempunyai putri yang cantik, dan pembantu yang aneh, dan bodoh.

Semua orang tertawa, melihatku naik ke atas panggung. Tawa penonton pecah, aku merasakannya, dan aku ikut terbawa suasana, aku senang orang tertawa karena ada aku. Ah senang. Aku larut dalam drama yang ada. Aku memainkan peranku dengan santai, dengan harapan, semua orang akan tertawa dan merasa terhibur.

Dan semua apa yang aku harapkan sepertinya berhasil. Ya, berhasil. Karena orang terlihat puas, tertawa, bahkan tepuk tangan. Aku asumsikan itu, kalau mereka terhibur dengan pentas drama kami. Aku senang.

Setelah acara selesai, aku segera pulang ke rumah. Karena, jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Sudah malam, aku harus pulang. Aku pulang dengan segala kebanggan, karena pementasan yang aku lakukan pertama kali ternyata berhasil. Tentu saja itu terlihat di raut mukaku. Tapi itu berubah, ketika aku pulang ke rumah.

Ketika aku memasuki rumah, aku mengucapkan salam. Aku segera menuju kamar mandi, untuk membersihkan mukaku, dan mengganti pakaianku, untuk pakaian tidur. Setelah selesai, aku segera pergi tidur.

Malam-malam aku terbangun. Ingin pipis. Aku lihat lampu mushola yang ada di samping kamarku menyala, “pasti ibu lagi shalat tahajud” pikirku. Tapi, aku samar-samar mendengar suara wanita menangis, jelas sekali aku mendengarnya. Aku bergegas ke kamar mandi, untuk pipis, dan saat kembali ke kamar, aku melihat ke arah mushola, ternyata ibuku sedang menangis.

“Bu, ibu kenapa?” aku bertanya pada ibu.

Ibu sesenggukan, dengan mata merah menjawab “gapapa sayang, udah kamu tidur lagi” jawab ibu. ”

“Beneran bu, gapapa? kok ibu nangis?” jawabku tidak percaya

“Gapapa nak, ibu gapapa. Udah kamu tidur lagi ya” jawab ibu dengan nada memerintah.

Aku segera masuk ke kamarku, dengan perasaan aneh, kenapa ibuku menangis? Mungkin karena sedang berdoa kepada Allah, ibuku jadi sedih. Gitu pikirku, dan akhirnya aku tidur lagi, masih dengan perasaan bahagia, karena kesuksesan pentasku yang pertama tadi.

Keesokannya, pukul 05.00 pagi aku bangun untuk shalat subuh. Aku lihat ibu sudah terlebih dahulu melaksanakan shalat subuh. Ada yang aneh dengan ibuku pagi ini. Matanya merah, bengkak, terlihat sekali habis menangis. Aku terheran, ada apa sebenarnya dengan ibuku? siapa yang menyakiti ibuku sampai seperti itu, samapi ibuku sepertinya sangat terluka? Aku berniat menanyakannya, nanti setelah aku menunaikan shalat subuh.

Aku sudah menunaikan dua rakaat ku, aku bergegas menuju ke dapur, ibu sedang mempersiapkan teh untuk bapak. Aku berencana, untuk menanyakan, siapa yang berani menyakiti ibuku, orang yang paling aku cintai di dunia ini.

“Bu, ibu” aku menuju ke ibu ku.

“iya sayang” masih dengan mata merah, dan kulihat masih ada sedikit air mata di wajah ibuku. Hatiku hancur.

“Ibu kenapa? kok dari semalem ibu nangis terus? siapa bu, yang jahat sama ibu? cerita bu sama aku” kataku berusaha meyakinkan ibu

Tiba-tiba saja, tangis ibu pecah, dan langsung memelukku. Aku masih bingung. Ada apa dengan ibuku? kenapa rasanya sakit sekali yang dirasakan ibuku?

“kamu besok-besok gausah ikut pentas kaya kemaren lagi ya” kata ibu sambil memelukku dengan kencang

“loh, kenapa bu?” tanyaku heran

Ibuku tiba-tiba menangis sesenggukan, kurasakan kepalaku mulai basah oleh air mata ibuku.

“Ibu gamau ngeliat kamu diketawain orang lain. Gamau kamu jadi bahan ledekan orang lain. Ibu gamau kamu ngerasa rendah diri. Jangan dilakuin lagi ya, nak” jawab ibuku

Tangisku pecah. Aku merasakan apa yang ibuku rasakan. Aku merasakan sesaknya ibuku. Ya, aku merasakan itu semua, dengan murni. Aku merasakannya.

“Ibu semalem ngeliat kamu, didandanin kaya gitu, yang lain didandanin cantik-cantik, dan ganteng, kamu sendiri yang dibuat jelek. Kamu gapantes untuk digituin nak. Kamu itu berharga buat bapak, ibu, dan kakak. Kamu itu berharga. Kamu gaboleh digituin sama orang lain. Kamu gaboleh diketawain orang banyak. Kamu itu hebat. Ibu sakit nak, ngeliat kamu jadi bahan tertawa orang-orang. Bukan satu atau dua orang, tetapi banyak orang. Sakit nak”

Tidak ada kata-kata yang bisa aku ucapkan. Aku merasa bersalah, merasa bodoh. Dengan tidak sadar, aku menyakiti orang yang paling aku cintai di dunia ini. Dengan tidak sadar, aku membuatnya bersedih atas yang apa aku anggap biasa. Betapa bodohnya aku. Aku hanya bisa menangis, dan akhirnya berkata “Maaf bu, aku gatau kalau itu bikin ibu sakit, dan bikin ibu nangis. Aku gatau. Maafin aku”.

Betapa hancurnya aku. Sesuatu yang kukira adalah sebuah keberhasilan, ternyata adalah sebuah keberhasilan semu yang menyakiti hati orang yang paling aku cintai. Bagaimana bisa kau menikmatinya, yang ada, aku menyesalinya.

 

 

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑